Unesa.ac.id, Surabaya - Pelaksanaan Konferensi Internasional Pendidikan Inklusi (3rd International Conference on Special Education) di Hotel Shangri la Surabaya hari kedua 14 Juli 2019 semakin hidup. Peserta dari puluhan negara pun makin antusias. Sesi Plenary yang dipandu oleh moderator Tsuroyya, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu memunculkan banyak referensi dan data baru terkait pengembangan program pendidikan inklusi, diantaranya dari presentasi yang dipaparkan oleh Dr. Jeongho Cha dosen Faculty of Science Daegu University, Korea.
Dia berbagi pengalaman tentang program pengembangan pembelajaran dan kurikulum di kampusnya. Meski kampus umum, namun Daegu University tetap memberikan porsi bagi pendidikan inklusi. Beberapa mata kuliah yang diajarkan di kampus Daegu dirancang khusus untuk membekali mahasiswa sehingga memiliki keterampilan yang mengakomodasi pengajaran dan pendidikan anak-anak inklusi saat mereka lulus.
Selain itu, Dr. Jeongho juga memaparkan hasil penelitian di kampusnya bahwa membangun potensi anak berkebutuhan khusus itu bisa dengan cara mendesain lingkungan yang memungkinkan mereka untuk melakukan banyak pergerakan fisik. Hal itu bisa dengan melakukan pembiasaan kecil dan sederhana yang dilakukan secara konsisten. “Di situlah kita akan tahu kalau ABK itu brilian, lihat hasil karya mereka, sederhana tapi memiliki keunikan dan kekhasan,” ujarnya.
Dr. Mudjito Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) pemateri kedua memperkuat pemaparan Prof. Jeongho Cha sebelumnya lewat hasil penelitiannya tentang mitigasi bencana bagi anak-anak disabilitas. Latar belakang penelitiannya adalah berawal dari seringnya beberapa daerah di Indonesia yang ditimpa bencana. Ternyata, masih banyak sekolah yang belum memiliki banyak pengalaman dan referensi dalam mengkondisikan anak-anak berkebutuhan khusus ketika terjadi bencana. Disayangkan juga, banyak kondisi sekolah yang bangunannya belum banyak didesain ramah bagi disabilitas.
Arya Indrawati, Ketua Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) secara vokal menyampaikan bahwa selama ini pemerintah belum memberikan perhatian yang maksimal terhadap nasib para penyandang tunanetra yang kurang memiliki peluang dalam mencari pekerjaan atau berkarir. Pemerintah harus satu langkah lebih maju. Selain mendorong dan merancang program pendidikan inklusi, juga harus mendorong agar para disabilitas mendapat kesempatan luas dalam hal akses pekerjaan. Pertuni sendiri selama ini sudah membentuk lembaga pelatihan sendiri sebagai wadah pembekalan skill bagi para penyandang tunanetra. Menindaklanjuti hal itu, agar para disabilitas yang sudah dilatih itu diserap di bursa kerja, Pertuni juga membentuk pusat pembelajaran Matematika khusus untuk tunanetra.
Akhir penyampaiannya, Arya mendesak pemerintah untuk merealisasikan buku pelajaran menggunakan huruf braille mulai dari SD sampai SMA. Lebih jauh karena ini era kemajuan aplikasi dan teknologi informasi, maka juga perlu banyak inovasi aplikasi yang memudahkan anak yang berkebutuhan khusus. (vin)
Padukan Referensi Pendidikan Inklusi dari Korea dan Indonesia dalam ICSE 2019

14 July 2019