30 April 2021


Unesa.ac.id, Surabaya-Gerakan radikalisme dan aksi terorisme masih menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak. Sepanjang Januari-Maret 2021 saja, sudah ada sekitar 94 terduga teroris yang dibekuk Densus 88 Anti Teror Mabes Polri. Diperparah lagi dengan aksi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar beberapa waktu lalu.
Menangkal radikalisme dan terorisme adalah tugas semua pihak, termasuk perguruan tinggi harus mengambil andil. Karena itulah, Pusat Pembinaan Ideologi LPPM Universitas Negeri Surabaya menggelar Webinar Nasional dengan tema “Menjernihkan Hati Melawan Radikalisme” pada Jum’at (30/04/2021).
Hadir sebagai pembicara, mantan Napi Teroris dan mantan Jihadis ISIS di Suriah, Wildan Fauzi. Selain itu juga ada Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, M.A., Ph.D, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya dan Ketua PP Muhammadiyah 2015-2020 dan Dr. H. Muhammad Turhan Yani, M.A akademisi Unesa.
Rektor Unesa Prof. Dr. Nurhasan., M.Kes dalam sambutannya yang disampaikan oleh Prof. Dr. Bambang Yulianto, M.Pd, Wakil Rektor Bidang Akademik Unesa, tujuan kegiatan tersebut untuk menguatkan nilai Pancasila, konsep sistem tangkal radikalisme dan peran penting nilai-nilai agama kepada segenap civitas academica Unesa dan semua peserta webinar.
Perguruan Tinggi Harus Terlibat Aktif
Secara yuridis, perguruan tinggi dituntut terlibat aktif dalam menangkal radikalisme maupun Ekstrimisme di kampus. Karena itu, Unesa turut aktif menjadi patner pemerintah dan masyarakat dalam menangkal paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Sementara itu, Wildan mantan Napiter menjelaskan bahwa radikalisme bisa masuk lewat lewat pergaulan dan bisa pula lewat media sosial. Media sosial justru lebih berbahaya, para pelaku bisa bergerak secara lone wolf atau operasi sendiri. Operasinya bisa terputus dari jaringan, tidak memiliki kelompok, tetapi bisa melakukan sendiri dengan panduan yang ada di internet.
Control Orang Tua dan Sosial
Menurut Wildan, masuknya paham ekstrimisme karena kurangnya control sosial dan orang tua. Padahal itu penting sekali dan menjadi tembok pertahanan yang penting dalam menangkal pengaruh paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Wildan becerita banyak tentang awal mula ia bertolak ke Siriah. Dari pengalamannya, penyebar radikalisme bukan asli Timur Tengah, tetapi justru banyak dari Indonesia yang memodifikasi ajaran agama untuk kepentingan sendiri. “Paling penting adalah perkuat control sosial dan keluarga, dengan siapa anak kita bergaul dan kepada siapa mereka mengaji,” tukasnya.
Tumbuhkan Rasa Cinta dan Bakti kepada Orang Tua
Dalam banyak kasus, ekstrimisme masuk lewat teman pergaulan. Tahap lebih lanjut, mereka lebih mengikuti ajakan temannya ketimbang orang tuanya. Akhirnya banyak kasus mengkafirkan orang tua sendiri dan orang lain. Yang lain salah, mereka benar.
Untuk meminimalisir hal itu, menurutnya anak-anak perlu dididik untuk belajar lebih mencintai orang tuanya lebih dari teman-temannya. “Saya ingin mendedikasikan diri untuk aktif dalam gerakan kesedaran anak-anak muda agar lebih cinta dan bakti kepada orang tua. Sekuat apapun laki-laki, ketika mengingat ibunya, dia akan jatuh tersungkur,” terangnya.
Dia melanjutkan, peran orang tua sangat vital, dengan pendekatan itu, generasi bisa lebih menghargai dan berbakti kepada orang tuanya dari siapapun atau temannya. “Jihad yang paling besar adalah berbakti kepada orang tua, membahagiakan orang tua, bukan justru membangkang apalagi mengkafirkan mereka,” ujarnya.
Merangkul Bukan Tak Acuh
Faktor lain yang membuat anak muda cepat terpapar paham radikal yakni karena adanya rasa tak diterima di lingkungannya. Mereka yang sering menyendiri dan tampil beda pun lama-lama bisa terpapar paham yang berbahaya. Karena itu, budaya kekeluargaan harus ditumbuhkan, anak-anak muda harus didekati dan diajak untuk berkomunikasi dengan hangat. “Mereka bisa meluapkan apapun pandangannya. Jika sudah begitu, kan kecil mereka bisa terpapar paham radikal,” tukasnya.
“Jihad itu dalam beragama itu gak konyol dan gak muluk-muluk, tetapi jihad itu dekat dan sederhana, mulai dari berbakti kepada orang tua, berbuat baik untuk sesama dan masih banyak lagi. Paling penting lagi adalah jika belajar agama belajarnya dasar-dasarnya dengan kuat, lalu belajarlah tentang akhlak,” pungkasnya tegas.
Sementara itu, menurut Syafiq A. Mughni, radikalisme dan ekstrimisme merupakan penyimpangan ajaran agama. Tidak ada agama mana pun di dunia ini yang mengajarkan kekerasan. Paham tersebut ada pada agama-agama di dunia, tidak hanya spesifik dengan Islam. Kemudian bisa ada dalam kelompok agama, bisa kelompok politik, dan kelompok bangsa dan bahkan suku.
Pembumian Ajaran Agama Moderat
Menurutnya, paham radikal bisa ditangkal lewat beberapa cara, salah satunya lewat pembumian ajaran agama yang moderat. Setidakya ada tujuh ciri moderasi agama dalam Islam. Pertama, tawazun atau keseimbangan hidup antara lahir dan batin, dunia dan akhirat. Kedua, tasamuh atau toleransi sebagai suatu keharusan bagi negara dan bangsa yang beragam seperti Indonesia. Ketiga, i’tidal atau tegak, konsisten dan keadilan. Prinsip keadilan konsisten menjadi pondasi penting dalam berbangsa dan bernegara.
Keempat, ishlah atau perbaikan hidup ke dalam dan ke luar untuk menjadikan dunia ini menjadi lebih baik untuk semua. Kelima, prinsip syura atau musyawarah yakni menjunjung tinggi pendapat, eksistensi orang lain. Bukan pemaksaan pendapat atau kehendak sendiri. Keenam, qudwah atau keteladanan. Ketujuh, muwathanah atau kewarganegaraan atau nasionalisme. Apa yang dilakukan? Perlu pengembangan narasi moderat, pengembangan budaya literasi moderat, early warning system yang baik, peer group moderat, dan pengembangan pola komunikasi yang baik.
Perlu Instrumen Khusus
Pada sesi materi akhir, Muhammad Turhan Yani menyorot persoalan pemantauan dan filterisasi tenaga pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Menurutnya, perlu ada instrument khusus terkait penanganan radikalisme di tiap institusi pemerintah. “Mahasiswa merupakan kelompok yang rentan terpapar paham radikal. Ditambah secara usia mereka tahap mencari identitas diri yang tidak didukung pemahaman keagamaan yang mumpuni,” ujarnya. “Karena itu, kita perlu gerak cepat mengendus munculnya paham itu dan menanganinya secara diri, sehingga gerakan tersebut muncul dan layu sebelum tersebar dan berkembang lebih besar,” sambungnya. (Humas Unesa)