07 April 2021


Unesa.ac.id, Surabaya-Kejadian bom bunuh diri di Makassar dan disusul peristiwa ‘penyerangan’ Mabes Polri beberapa waktu lalu menjadi pertanda bahwa radikalisme masih ada dan tumbuh di tengah masyarakat. Tragedi tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak termasuk perguruan tinggi.
Universitas Negeri Surabaya (UNESA) mengambil peran untuk menjawab persoalan tersebut. Salah satunya lewat acara diskusi publik bersama para pakar guna ‘membedah’ ajaran Radikalisme, pola penyebaran dan strategi menangkalnya di Perguruan Tinggi. Acara dihelat di Lantai 11 Rektorat Unesa Lidah Wetan pada Rabu (7/4/2021) dan disiarkan secara langsung di kanal YouTube Kece TV.
Sebagai narasumber, hadir Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Wakil Ketua MPR RI. Kemudian ada Brigjen Pol. Ahmad Nur Wahid, S.E., M.M., Direktur Pencegahan BNPT dan Prof. Dr. Hariyono, M.Pd., selaku Wakil Ketua BPIP. Diskusi tersebut dipandu oleh Dr. Bambang Sigit Widodo, M.Pd., Akademisi Unesa sebagai moderator.
Prof. Dr. Nurhasan., M.Kes., Rektor Unesa menyatakan bahwa persoalan radikalisme merupakan persoalan serius dan sangat kompleks. Karena itulah, harus menjadi perhatian bersama untuk menghadirkan solusi yang tepat dan strategi yang andal untuk menangkalnya.
Cak Hasan (sapaan akrabnya) memaparkan bahwa paham radikal tentu berkaitan dengan banyak faktor. Faktor kesenjangan, pendidikan, dan juga faktor-faktor lainnya. Menurutnya, hal itu berkaitan juga dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 270,6 juta jiwa. Kemudian jumlah perangkat handphone di Indonesia melebihi jumlah manusianya yakni sekitar 338,2 unit. Dan tingkat pendidikan di Indonesia yang belum sepenuhnya merata.
Artinya, satu sisi data itu menjadi potensi yang baik bagi bangsa Indonesia, tetapi juga akan berdampak buruk jika tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. “Apa jadinya penduduk kita yang banyak ini saling menyebar informasi berita bohong dan kebencian? Ini yang perlu kita diskusikan,” tukasnya memancing.
Isu Ketidakadilan bisa Jadi Trigger
Selain itu, Cak Hasan juga memaparkan data 2020 dari beberapa lembaga survei yang menyatakan bahwa nilai yang paling tinggi dalam pandangan anak muda Indonesia didominasi ketidakadilan dan disusul nilai gotong royong.
Anak-anak muda menilai bahwa Indonesia masih jauh dari keadilan dan kemakmuran. Artinya ketika isu ketidakadilan digulirkan, anak muda akan cepat bergejolak. “Anak muda berdasarkan beberapa survei juga cenderung berpikir pendek. Jika isu ketidakadilan dan agama diangkat, maka ini bisa berbahaya,” tukasnya.
Data PPIM UIN Jakarta pada 2018, sebanyak 58,5 persen mahasiswa berpikiran radikal dan 45,0 berpikiran radikal intoleran. Hasil survei IDN Research Institut kepada 1.400 generasi milenial bahwa 19,5 persen anak muda memiliki pandangan bahwa negara khilafah adalah negara ideal bagi Indonesia.
Wahid Foundation juga menyurvei siswa unggulan yang rangking 1-10, hasilnya 60 persen siswa siap berperang jika ada panggilan untuk membela umat Islam yang tertindas. “Data itu menjadi peringatan agar kita tidak lengah,” ujarnya.
Tangkal Radikalisme Butuh Komitmen Bersama
Untuk menangkal paham intoleransi dan radikalisme di kampus, perlu komitmen mahasiswa dan Civitas Academica dalam menumbuhkan sikap dan kesadaran nasionalisme, cinta tanah air, toleransi, dan penanaman nilai pancasila sesuai konteks kekinian. “Penanaman nilai pancasila tentu tidak melulu soal doktrinasi, tetapi juga lewat cara-cara diaologis,” pungkasnya.
Moderator membuka diskusi tersebut dengan pertanyaan kunci, kejadian teror masih terjadi di Indonesia dan kira-kira apa yang ada dalam pemahaman para pelaku sampai bisa senekat itu? Gus Jazilul Fawaid berpendapat bahwa pemikiran radikal akan selalu ada di setiap zamannya. Tidak hanya zaman ini saja, tetapi sejak zaman nabi pun sudah ada.
Dari Radikalisme Jadi Terorisme
Dia melanjutkan, bahwa Radikalisme, Ekstrimisme, dan Terorisme itu hampir serupa. Pikiran radikal ditambah kekerasan itu namanya teroris. Berpikir radikal menyalahkan yang lain bisa menjadi ekstrimis. Apa penyebab pikiran Radikalisme? Salah satunya karena rasa superioritas, merasa lebih pintar, lebih hebat, dan lebih benar dari yang lain. Sehingga mudah mengkafirkan yang lain dan merendahkan yang lain. Di luar kelompok lain disebut salah dan hanya kelompoknya yang benar. “Pemahaman beginilah yang selangkah lagi bisa jadi Terorisme,” ujarnya.
Gus Jazilul mengapresiasi bahwa Unesa menjadi kampus terdepan dalam menjawab persoalan Radikalisme. Menurutnya, Unesa sebagai kampus yang menghasilkan para guru yang unggul, tentu memiliki rumusan dalam mengantisipasi munculnya gerakan Radikalisme di kampus. “Kita harus punya metode yang tepat, Unesa tentu mampu merumuskan metode itu yang bisa dipakai oleh kita semua dalam menangkal radikalisme di tengah masyarakat,” ujarnya. “Kalau bisa dengan metode itu, 2 jam saja, pikiran radikal itu lenyap,” sambungnya.
Sementara itu, Direktur Pencegahan BNPT menyampaikan bahwa Terorisme adalah aksi atau tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror, rasa takut secara meluas, menimbulkan korban jiwa baik meninggal maupun terluka, menimbulkan kerusakan fasilitas publik dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.
Menurutnya, Terorisme tidak bisa lepas dari Radikalisme. Teroris itu tindakannya, sementara Radikalisme adalah paham yang merupakan fase menuju Terorisme. Radikalisme cenderung menjiwai aksi Terorisme.
Paham tersebut bisa berbahaya. Dampaknya bisa merusak nilai agama pun nilai Pancasila. Selain itu, menimbulkan perpecahan dan fitnah di tengah masyarakat. Bahkan bisa berkembang menjadi konflik sosial dan konflik bangsa. “Kita belajar dari konflik di timur tengah, yang didahului dengan fenomena maraknya radikalisme dan terorisme yang berkolaborasi dengan oposisi yang distruktif ditambah ikut campurnya asing dan itu berbahaya sekali,” katanya.
Membumikan Pancasila
Wakil Ketua BPIP dalam pemaparannya berargumen bahwa Pancasila belum benar-benar membumi dalam kehidupan sehari-hari. “Satu sisi kita sebagai ilmuan setuju Pancasila sebagai dasar negara, tetapi epistemologi keilmuan kita belum benar-benar berpondasi pada Pancasila,” tegasnya.
Dampaknya apa? Pancasila masih sebatas toleransi. Pancasila sejak awal diciptakan untuk mempersatukan semua elemen bangsa. Untuk mempersatukan itu butuh toleransi. Apakah mungkin kita bisa menggapai visi kebangsaan sebagai bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur serta beradab hanya dengan toleransi? Tentu tidak, karena itu diperlukan usaha salah satunya penguasaan IPTEK.
Pancasila dari Toleransi ke Inovasi dan Prestasi
Menerjemahkan Pancasila tidak boleh berhenti pada toleransi, tetapi ‘melompat’ pada inovasi dan prestasi. Pancasila selain sebagai pemersatu bangsa, juga menjadi bintang yang menuntun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan unggul.
Radikalisme tidak selalu berkonotasi negatif. Bahkan menurutnya dengan mengutip pendapat Kuntowijoyo perlu adanya radikalisasi dalam Pancasila. Ppancasila sebagai pisau analisis untuk mengkritik realitas yang ada. Pancasila bisa sebagai media radikal.
Dia menyampaikan terima kasih dan apresiasi untuk Unesa, pola yang dilakukan Unesa cukup menarik dan menurutnya juga perlu dikembangkan ke dalam lingkup epistmeologi.
Pancasila Harus Mewarnai Ruang Publik
Mengapa Pancasila tidak mampu menangkal radikalisme? Menurutnya karena pascareformasi, Pancasila hilang dari ruang publik. Ketika ruang kognisi publik bangsa Indonesia kosong dari nilai Pancasila, maka masuklah tawaran atau pengaruh ideologi lain seperti Radikalisme, Ekstrimisme, dan bahkan Terorisme.
Menurutnya, dosen ketika mengajar Pancasila tidak hanya membicarakan sejarah masa lampau tentang Pancasila. Namun, belajar sejarah adalah mempelajari masa lampau untuk melampui masa lampau. “Dalam konteks diskusi ini, akar Pancasila perlu dirawat lewat sejarah, tetapi juga dapat menghasilkan buah-buah berupa nilai yang bermanfaat bagi kehidupan bangsa Indonesia,” tegasnya. Acara diskusi yang diikuti ribuan peserta secara offline dan virtual itu diakhiri dengan sesi tanya jawab dari berbagai peserta. (Humas Unesa)