08 February 2021


Unesa.ac.id, Surabaya - Lingkar Studi Sosial Budaya, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH), Universitas Negeri Surabaya menyelenggarakan bedah buku secara virtual bertajuk Bintang Merah Menerangi Dunia Ketiga karya sejarawan India, Vijay Prashad pada Sabtu, (06/02/21).
Acara yang dilaksanakan via Zoom itu dihadiri 80 peserta dan tiga narasumber utama, yaitu Wahyu Eka S., Aktivis Lingkungan, Dr. Andi Achdian, pengurus pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia, dan Satriono Priyo Utomo, M. Hum., sejarawan muda. Sebagai pembicara pertama, Satriono Priyo Utomo mula-mula menjelaskan tentang bintang merah dalam buku tersebut yang bisa berarti semangat, harapan atau cita-cita, serta perjuangan.
Dia melanjutkan bahwa kemerdekaan Indonesia dalam sejarahnya tidak lepas dari pergumulan, salah satunya dengan Marxisme. Menurutnya, semangat Marxisme dapat menjadi “penerang” dunia ketiga, karena mampu memberi panduan, menjadi inspirasi perjuangan, sekaligus menerangkan bahwa kolonialisme itu bukan sesuatu yang tiba-tiba. Hal itulah yang secara detail dijelaskan Vijay lewat bukunya tersebut.
Selain itu, dia menjelaskan bahwa pelaksanaan pendidikan pada periode 1958-1965 memiliki semboyan “Lima Cinta”; cinta kerja, cinta tanah air, cinta damai, cinta ilmu, dan cinta ayah ibu. “Pendekatan pendidikan saat itu pun sudah menerapkan students centered bukan teacher centered,” ujarnya.
Selanjutnya, Wahyu Eka menegaskan bahwa “bintang merah menyinari” yang dimaksud dalam buku tersebut adalah sebuah spirit yang menginspirasi negara-negara yang sedang mengalami penjajahan untuk melakukan perlawanan, dan meningkatkan semangat melawan penjajahan dan semangat nasionalisme. “Bintang merah itu adalah semangat. Agar bisa merdeka, keluar dari sistem kolonial ya butuh semangat perlawanan, dan itu harus dipekikkan,” ujarnya.
Selanjutnya, Dr. Andi Achdian selaku narasumber ketiga memulai dengan penjelasan bahwa buku tersebut memang termasuk buku yang sangat ringan dan santai untuk dibaca. Kendati demikian, nilai dan daya gugahnya cukup kuat, bisa menjadi semangat bagi anak-anak muda.
“Buku ini mengajak kita berdialog, sehingga dapat meningkatkan imajinasi dan rasa ingin tahu kita terpancing,” ujarnya. “Buku ini memang bukan kajian komprehensif, melainkan buku kecil dengan harapan besar, yaitu menjelaskan kekuatan Revolusi Oktober bagi emansipasi negara-negara yang terjajah,” pungkasnya.
Ketua pelaksana acara, Wahyu Mahendra mengatakan bahwa kegiatan diskusi dan bedah buku menjadi salah satu cara Lingkar Studi Sosial dan Budaya, FISH Unesa memenuhi kebutuhan intelektual maupun akademik selama pandemi. Meski gerakan fisik terbatas karena wabah, tetapi imajinasi dan pengetahuan harus tetap diasah dan “dibebaskan”. “Semoga anak-anak muda menjadi terinspirasi dan mampu memberikan kontribusi yang baik bagi masyarakat dan negara,” harapnya. (wulida/yam/Humas_Unesa)