14 December 2020


Unesa.ac.id, Surabaya - Dalam mengajar maupun mendampingi mahasiswa PPG ketika berkuliah secara daring tentu ada cerita tersendiri yang dialami oleh dosen maupun guru pamong. Seperti cerita dari Wartini, salah satu guru pamong yang berkesempatan mendampingi mahasiswa PPG Unesa Dalam Jabatan Tahun 2020. Guru yang berasal dari SMKN 1 Sidoarjo ini menceritakan bagaimana suka dukanya mengajar mahasiswa PPG yang berasal dari daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
“Setelah mendampingi mahasiswa PPG banyak hal baru yang sebenarnya tidak pernah kita tahu secara nyata bahwa itu benar benar terjadi. Rata rata mahasiswa PPG di sekolah kami rata-rata dari daerah 3T. Kadang saya sering dapat curhat, bagaimana membuat perangkat pembelajaran yang seperti ini, bagaimana caranya menganalisis Kompetensi Inti (KI) Kompetensi Dasar (KD) Silabus dan sebagainya. Tenyata mahasiswa PPG yang ikut PPG terutama yang dari daerah 3T itu kurang sekali dalam menyiapkan manajemen pembelajaran,” ujar Wartini saat memberikan sambutan dalam kegiatan Penyusunan Laporan Akhir Pelaksanaan PPG tahun 2020, Minggu (13/12).
Menurut Wartini, jika mereka dianggap sebagai pendidik memang sudah baik, karena loyalitasnya untuk menjadi tidak hanya seorang pengajar, tapi juga pendidik. Di samping itu, Wartini menambahkan jika tingkat kesulitan mahasiswa yang ada di daerah 3T itu tentu tidak seperti di kota besar seperti Surabaya dan sekitarnya.
“Mereka saat mengajar tidak pernah berpikir bagaimana menyiapkan perangkat, tapi yang mereka pikirkan pertama kali adalah bagaimana siswanya agar mau belajar dan memiliki motivasi untuk masuk sekolah. Cerita itu yang sempat membuat saya terharu dan sangat bersyukur karena saya berada di sidoarjo,” ucapnya.
Selanjutnya, Ia menceritakan jika banyak hal yang mungkin tidak diketahui bapak/ibu dosen dan guru pamong setelah mendampingi baru menyadari bahwa sistem pelaksanaan PPG secara daring ini banyak menyita waktu dan tenaga.
“Saya pernah ditelpon jam 11 malam hanya bertanya tentang bagaimana KI KD nya dan bagaimana menganalisanya, sampai segitunya. Jadi kita patut memberikan apresiasi kepada pengajar karena telah menyediakan waktunya 25 jam selama 4 bulan,” imbuhnya.
Di samping itu beberapa guru pamong seperti dirinya mengalami jam mengajar yang bentrok antara mengajar di sekolah dan mendampingi mahasiswa PPG. Menurutnya, guru pamong juga perlu mengatasi kendala yang dialami oleh siswa, ditambah lagi juga harus menjawab permasalahan dari mahasiswa PPG.
“Kalau menurut saya lebih enak mengajar siswa saya di sekolah dibanding mahasiswa PPG,” kata Wartini disambut tawa dari peserta yang hadir.
Namun, ada hikmah yang diperolehnya saat mendampingi mahasiswa PPG di saat pandemi seperti sekarang. Karena harus dilaksanakan secara daring, Iajuga perlu belajar dan mengetahui tentang LMS (Learning Management System).
“Banyak hal baru yang bisa saya pelajari kali ini, misalnya penggunaan aplikasi LMS yang ternyata tidak semudah yang kita bayangkan. Semoga tahun depan kalau PPG masih dilaksanakan secara daring ada perubahan yang signifikan terkait masukan-masukan yang sudah dibahas tadi,” pungkasnya. (Suryo)