17 July 2022


Unesa.ac.id, SURABAYA-Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk memperingati hari besar nasional maupun internasional. Salah satunya bisa lewat gagasan seperti yang kerap dilakukan pakar Sosiologi Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Dr. Agus Machfud Fauzi, M.Si.
Pada peringatan Hari Keadilan Internasional, 17 Juli 2022 ini, pengamat politik tersebut mengomentari keadilan dari aspek produk hukum di negeri ini. Menurutnya, keadilan menjadi dasar penting dalam mewujudkan cita-cita hidup berbangsa dan bernegara. Keadilan di sini menyangkut keadilan sosial maupun keadilan hukum.
Menurutnya, sering dijumpai rancangan hingga produk hukum banyak yang kontras dengan cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga faktor tersebut mempengaruhi kinerja keadilan itu sendiri. Pria kelahiran Kota Reog itu menilai ‘gaya pejabat’ saat ini membuat sistem demokrasi di Indonesia belum mampu mendistribusikan keadilan secara menyeluruh ke segala penjuru negeri.
“Keadilan di negeri demokrasi akan terwujud kalau pejabatnya pun masyarakatnya punya kematangan cara berpikir dan bertingkah laku. Ketika demokrasi dijalankan pada negeri yang masih memiliki ketimpangan antara si miskin dan si kaya. Maka si miskin hanya menjadi korban oligarki,” terang dosen 46 tahun itu.
Mengacu pada pemahaman Socrates tentang demokrasi, lanjutnya, demokrasi buruk bukan dari sistemnya, tetapi lebih kepada keadaan dan di tangah siapa demokrasi itu dijalankan. Demokrasi akan bengis di tangan mereka yang menjalankan kekuasaan tanpa nurani. Sebaliknya, demokrasi akan menjadi ‘obat’ penghapus kemiskinan, mendatangkan keadilan, mewujudkan kesejahteraan jika dijalankan oleh tangan-tangan yang bertanggung jawab dan punya komitmen.
Lebih jauh menurutnya, ‘mandulnya’ sistem demokrasi di Indonesia juga dipengaruhi penerapan ‘Trias Politica’ (Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif) yang tidak pada tempatnya. “Jangan heran kan jika banyak kasus hukum yang melibatkan campur tangan pejabat dengan para hakim dalam memutuskan suatu perkara. Dari sinilah muncul hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Bisa kita lihat kasus jual beli pasal, pengurangan masa tahanan, RUU cipta kerja, money politic, hingga kepada kendala penyidikan kasus-kasus HAM,” terangnya.
Kalau mau bicara substansi keadilan, katanya, harus merujuk pada bagaimana segala regulasi yang ada dalam suatu bangsa dibentuk untuk melindungi masyarakat yang ada sehingga memberikan rasa nyaman, aman, tentram, sejahtera, serta kehidupan yang tercukupi hingga generasi berikutnya.
Regulasi tersebut dibentuk juga atas asas kesetaraan dengan mengedepankan aspirasi rakyat sebagaimana istilah ‘Well Educated’ yang berangkat dari masyarakat yang berpendidikan, yang perutnya tercukupi dan memiliki kehidupan yang sejahtera. “Sayangnya yang begini masih jadi problmatika di Indonesia,” katanya lagi.
Dia berharap, hari keadilan ini menjadi ‘pintu’ refleksi bersama untuk meningkatkan kualitas keadilan di Indonesia. Ia sadar, keadilan ini cukup kompleks melibatkan banyak variabel penting. Karena itulah, berbagai pihak terkait yang merasa terpanggil nuraninya harus tetap berusaha dan bergerak untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan beradab.
“Keadilan harus ditegakkan, persatuan perlu dirawat dan diperkuat. Keadilan tidak bisa diletakkan di atas birahi kekuasaan. Namun kekuasaan dijalankan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tutupnya. [HUMAS UNESA]
Penulis: Saputra
Editor: Zam Alasiah*
Foto oleh Sora Shimazaki: https://www.pexels.com/id-id/foto/skala-penilaian-dan-palu-di-kantor-hakim-5669602/