08 September 2020


Unesa.ac.id, Surabaya- Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Unesa bekerja sama dengan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unesa mengadakan webinar nasional bertema ‘Politika Sastra’ pada Sabtu (5/9). Acara yang diselenggarakan secara daring ini diikuti oleh 150 peserta.
Webinar yang dimoderatori oleh Dr. Ahmad Taufiq, M.Pd (Universitas Jember) dan Dr. Ali Mustofa, MA (Universitas Negeri Surabaya) ini menghadirkan empat pembicara utama, yakni Leila S. Chudori (sastrawan), Dr. Yoseph Yapi Traum, M.Hum (Universitas Sanata Dharma), Prof. Setya Yuwana, M.A (Universitas Negeri Surabaya) dan Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd (Universitas Negeri Malang).
Leila S. Chudori memaparkan tentang novel Laut Bercerita. Ia mengatakan bahwa novel Laut Bercerita ini dilatar belakangi masa Orde Baru. Tokoh-tokoh dalam novel tersebut dibentuk dari wawancara yang dilakukan dengan beberapa keluarga korban, di antaranya Kontra S (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dan IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia). “Sehingga tercipta tokoh Biru Laut, Asmara Jati, Anjani dan Kinan dalam novel tersebut,” paparnya.
Leila menekankan bahwa suara mereka yang hilang entah dimana keberadaanya itu, akan terus-menerus bersuara menyuarakan mereka yang belum ditemukan dan belum diselesaikan persoalannya.
Narasumber lainnya, Dr. Yoseph Yapi Traum, M. Humyang memaparkan tentang ‘Jalan Ketiga Politik Sastra: Seusai Lekra dan Manikebu Bertikai’ menegaskan bahwa prinsip kubu Lekra dan Manikebu, keduanya sama-sama mengandalkan kekuasaan politik untuk saling meniadakan sambil mengklaim kebenaran ideologisnya sendiri. Namun, Keduanya menjadi organisasi terlarang oleh Pemerintah RI.
“Kedua prinsip berkesenian itu masing-masing memiliki kelemahannya masing-masing. Prinsip “Politik sebagai Panglima” perlu ditolak. Sastra tidak bisa dipimpin oleh sektor manapun: politik, sosial, ekonomi, militer, bahkan estetika sekalipun,” terang Yoseph. Sedangkan Jalan ketiga politik kesusastraan Indonesia adalah Adonan humanisme universal yang dimantapkan dengan realis mesosialis yang sudah dimatangkan.
Sementara itu, Prof. Setya Yuwana, M.A yang memaparkan tentang ‘Politika Sastra’ menyampaikan bahwa Ilmu politik memiliki manfaat dalam kajian sastra. “Ilmu politik dapat memperkaya wawasan untuk mengkaji genre sastra politik, sebelum kemerdekaan dan zaman kemerdekaan (Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi),” ucap Yuwana
Selanjutnya, Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd memaparkan tentang ‘Negara dan Kesusastraan di Indonesia: Hubungan Benci Tapi Rindu’. Guru Besar Universitas Negeri Malang itu menyampaikan bahwa negara atau pemerintah mampu melaksanakan peranan besar di bidang kreasi sastra, produksi sastra, dan distribusi-diseminasi sastra apabila pemerintah memiliki political will.
“Negara atau pemerintah mampu memainkan peranan besar demi kemajuan sastra kesusastraan di Indonesia. Selain itu, harus memiliki kesediaan menempatkan bidang kebudayaan, kesenian dan kesusastraan sesuai watak dasar yaitu menghendaki kemerdakaan, kemandirian, dan kebebasan bukan ketundukan dan kepatuhan total kepada negara,” ungkap Djoko. (esti/sir)