23 July 2022


Unesa.ac.id, SURABAYA–Anak termasuk kelompok rentan yang semestinya mendapat perlindungan dan support baik dari orang tua, lingkungan sekitar maupun negara. Namun, belakangan ini banyak kasus yang melibatkan anak-anak, mulai dari bullying hingga kekerasan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat setidaknya terjadi 11.952 kasus kekerasan anak yang tercatat Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) sepanjang tahun 2021.
Di tempat lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan masyarakat terkait kasus perlindungan khusus anak tahun 2021 sebanyak 2.982 kasus. Dari jumlah tersebut, paling banyak atau 1.138 kasus anak yang dilaporkan sebagai korban kekerasan fisik dan atau psikis.
Putri Aisyiyah Rachma Dewi, S.Sos., M.Med.Kom., Ketua Divisi Gender dan Anak, Satgas PPKS UNESA mengatakan bahwa angka kekerasan pada anak kian mengkhawatirkan. Lingkungan tempat mereka belajar dan bermain semakin tidak aman serta mengancam proses pertumbuhan (fisik) dan perkembangan (psikis) anak.
“Kultur masyarakat kita sangat permisif terhadap budaya kekerasan bahkan anak-anak ini terancam tidak hanya dari orang dewasa tapi juga dari anak-anak yang lain. Masyarakat cenderung permisif dan kekerasan semakin dianggap wajar,” ujar dosen Ilmu Komunikasi itu.
Mirisnya, kekerasan seksual juga sering menimpa anak-anak. Angka kekerasan seksual pada anak semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pelaku kekerasan seksual, tidak melulu oleh orang asing. Namun, orang-orang terdekat anak itu sendiri yang justru jadi pelakunya. Ada yang dari kerabat, tetangga dan bahkan keluarga inti.
Peran Orang Tua
Menurut Putri, daya nalar anak yang masih belum kompleks serta pola pikir mereka yang sederhana bukan menjadi faktor kekerasan seksual pada anak, tetapi lingkungan sekitar anaklah yang tidak mampu memberikan perlindungan maksimal kepada mereka.
“Salah satu lingkungan yang dimaksud ialah keluarga. Orang tua terkadang merasa bahwa kebutuhan anak hanyalah pangan, sandang, dan papan, sehingga orang tua cenderung sibuk dan kurang memberikan perhatian lebih kepada anak seperti bermain dengan siapa saja, lama bermain, dan perhatian sejenisnya,” terangnya.
Meningkatnya kasus kekerasan pada anak juga tak lepas dari semakin individualisnya masyarakat. Banyak yang tidak peduli dengan keadaan sekitar atau bahkan apabila hanya sekedar bertanya akan dianggap terlalu ingin tau dan ikut campur urusan orang lain.
“Saya kira negara juga harus hadir untuk menciptakan lingkungan publik yang ramah anak, taman-taman kota diperbanyak mainan anak dengan perlindungan yang aman, seperti tersedianya matras agar saat anak terbentur tidak mengalami luka dan sebagainya,” bebernya.
Kekerasan seksual bisa berdampak serius terhadap fisik dan psikis anak. Selain itu juga berpengaruh terhadap cara pandang anak terhadap seksualitas dan dampaknya akan terbawa sampai dewasa apabila anak tersebut tidak diberikan perhatian lebih.
“Bayangkan anak yang masih belia masih belum tau apapun, tiba-tiba mendapatkan pengalaman seksual pertamanya dari orang lain. Sex education itu penting meski memang masih tabu sekali untuk dijelaskan ke anak-anak,” tandasnya.
Drs. Mintohari, M.Pd., Kaprodi PGSD UNESA menambahkan, apa yang dialami anak akan terus tertanam sampai dewasa. Ketika anak tersebut dewasa akan cenderung antipati, ketakutan dan merasa minder saat bergaul dengan teman maupun berinteraksi dalam lingkungan masyarakat.
Selain itu, dia juga bisa memiliki pemikiran untuk balas dendam dan melakukan hal yang serupa kepada anak yang lainnya. Apa yang mereka rasakan dulu harus dirasakan anak lainnya.
“Anak yang mengalami kekerasan seksual akan trauma. Kalau trauma fisik mudah disembuhkan, tetapi kalau trauma psikologis itu pasti sulit disembuhkan. Sehingga harus diberikan penanganan tertentu seperti pendampingan. Jika tidak, efeknya akan terbawa sampai dewasa,” ungkapnya.
Sex Education
Pendidikan seks, lanjutnya penting diberikan kepada anak. Kapan? Yaitu ketika anak itu sudah mulai mengenal dirinya sendiri, orang lain, serta sudah bisa berkomunikasi maupun berinteraksi dengan orang lain. Edukasi yang paling awal diberikan yaitu mengenal organ atau tubuh sendiri, anggota tubuh mana yang harus ditutup dan mana yang boleh diperlihatkan.
Anak juga perlu diajarkan bagaimana cara berpakaian dan memperlakukan teman sebaya yang berlawanan jenis juga harus mulai diajarkan dan dibiasakan. Saat ini, kurikulum kelompok belajar TK sudah mulai memasukkan materi organ tubuh, siapa saja yang boleh menyentuh dan apa yang harus dilakukan. Apabila ada orang asing yang menyentuh, anak bisa berteriak dan berlari mencari pertolongan orang sekitar.
Mintohari berharap, berbagai kasus yang menjerat anak harus menjadi perhatian bagi semua pihak. Hari Anak Nasional, 23 Juli 2022 ini perlu menjadi penguatan terhadap gerakan kesadaran untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang aman dan nyaman bagi tumbuh dan berkembangnya anak.
“Hari peringatan begini kan tidak sebagai seremonial yang meramaikan kalender. Namun, harus benar-benar menjadi bagian dari gerakan meningkatkan rasa kepedulian terhadap anak serta menjamin pemenuhan hak anak atas hak hidup, tumbuh, dan perlindungan,” tegasnya. [HUMAS UNESA]
Penulis: Reyka Ayu
Editor: @zam Alasiah*
Foto: Gambar oleh Sasin Tipchai dari Pixabay , Gambar oleh Pexels dari Pixabay