15 June 2022


Unesa.ac.id, SURABAYA-Peran Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam membangun karakter pendidikan menjadi tema sentral yang dibahas sejumlah pakar dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA (UNESA) pada Jumat, 10 Juni 2022 di Auditorium Lantai 11, Gedung Rektorat, Kampus Lidah Wetan, Surabaya.
Pakar yang hadir yaitu Prof. Dr. Muchlas Samani, M.Pd., Ketua Umum Lamdik, Prof Dr. Siti Masitoh, M.Pd., Ketua P3IP FIP UNESA., dan Dr. Agus Suwignyo, M.A., Pedagog FIB UGM. Dalam sambutannya, Wakil Rektor Bidang Akademik, Prof. Dr. Bambang Yulianto, M.Pd., menyampaikan, salah satu tujuan pendidikan yaitu untuk membentuk karakter generasi yang mengarah pada pembentukan karakter bangsa. Selain pengetahuan dan keterampilan, karakter menjadi domain penting dalam pelaksanaan pendidikan.
Sesuai Undang-Undang Sisdiknas, No 20 Tahun 2003, pendidikan nasional, lanjutnya, berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
“Pembentukan karakter menjadi perhatian dan upaya bersama. UNESA terus berkomitmen untuk mencetak generasi-generasi unggul dan berkarakter Pancasila. Ini sesuai dengan motto, growing with character,” ujar guru besar Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) itu.
Inti dari pendidikan adalah pengembangan karakter. Karena itu, seluruh elemen dan lingkungan pendidikan harus mendukung tumbuh dan berkembangnya karakter anak bangsa. Termasuk, pendidik dan tenaga kependidikannya yang tentu juga harus memiliki karakter. Guru ialah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
“Pendidik tidak hanya dituntut bisa mengajar atau memiliki kompetensi pedagogik, tetapi juga harus memiliki kompetensi kepribadian, sosial dan profesional. Agar proses pendidikan berjalan dengan baik dan tujuan bisa tercapai dibutuhkan guru-guru yang mempunyai karakter, integritas, komitmen, disiplin, kasih sayang, dan adaptif dan inovatif,” terangnya.
Dalam sesi diskusi, Prof. Dr. Siti Masitoh, M.Pd., dari Pusat Pengkajian Pengembangan Ilmu Pendidikan (P3IP) Fakultas Ilmu Pendidikan, UNESA menjelaskan, dalam proses pembelajaran perlu model pembelajaran yang tepat bisa diterapkan dengan baik oleh pendidik serta tidak lupa memberikan bimbingan selama proses pembelajaran. Karakter pendidik perlu dilatih sejak calon tenaga pendidik masih belajar di bangku perkuliahan, karena nantinya calon tenaga pendidik ini akan mendidik generasi penerus bangsa. “Karakter bukan diajarkan, namun perlu dibiasakan. Karakter bukan untuk belajar saja, tetapi belajar bagaimana berkarakter yang unggul,” tukasnya.
Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hadjar Dewantara mewariskan banyak hal untuk generasi berikutnya. Menurutnya, belajar akan efektif jika timbul atas kemauan, pemahaman dan usaha sendiri berdasarkan pengalaman diri sendiri. “Guru yang memiliki kedamaian batin, maka dirinya mampu mengendalikan dirinya yang senantiasa berkeinginan belajar sepanjang hayat untuk dapat mendorong dan memberikan pengetahuan serta wawasan kepada siswa bahwa ilmu merupakan “jendela” untuk mencapai kesuksesan” papar Prof Masitoh.
Hadir sebagai pemateri juga, Prof. Dr. Muchlas Samani, M.Pd., menjelaskan bahwa karakter dibawa sejak lahir dan dipengaruhi oleh lingkungan. “Guru itu ibarat petani, siswa itu ibarat tanaman. Tidak mungkin guru bisa mengubah asalnya. Tugas petani adalah mengenai segala sisi tentang tanamannya sehingga tahu bagaimana kebutuhan kadar air, pupuk dan sebagainya. Dengan kata lain, guru tidak bisa mengubah potensi peserta didik yang ahli bermain bulutangkis menjadi seorang penyanyi. Tetapi kita bisa menyuburkan keahlian bulutangkis tadi menjadi pemain yang baik di kancah nasional maupun internasional,” paparnya.
Dr. Agus Suwignyo, M.A., dosen senior di Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada menyampaikan dilema-dilema yang dialami LPTK. Negara-negara maju dan berkembang seperti Irlandia, Swedia, UK, Amerika Serikat, dan lainnya mengalami transformasi perguruan tinggi dari yang awalnya “IKIP” menjadi universitas. Namun yang menjadi pembeda dengan negara Indonesia yaitu guru besar dan dosen di sana bertambah kuat dan berkompeten yang dilandasi oleh komitmen kuat untuk membentuk teaching university.
Riset yang dilakukan universitas eks-IKIP seyogyanya ialah riset untuk memperkuat pengajaran dan melahirkan ilmu-ilmu pengajaran baru tentang suatu bidang ilmu murni. “Kunci pembenahan pendidikan adalah komitmen pada kualitas program, bukan untuk kelembagaan; Re-vokasionalisasi program-program pada universitas-universitas eks-IKIP; dan benchmarking ke luar negeri,” terangnya.
Kegiatan yang dihadiri jajaran pimpinan UNESA dan seluruh civitas academica FIP itu diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis ke-58 UNESA dan bagian dari rangkaian bulan pendidikan FIP UNESA. [HUMAS UNESA]
Penulis: Fionna Ayu Shabrina
Editor: @zam Al’asyiah