23 July 2018


Unesa.ac.id—Surabaya, Sabtu (21/7) Universitas Negeri Surabaya mengadakan acara seminar nasional Tasawuf 2018. Tema yang diangkat dalam seminar ini yakni “Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Tasawuf”, bertujuan untuk merespon kondisi global melalui paradigma spiritual sufistik, memfasilitasi publikasi, diskusi ilmiah, dan pertukaran infomasi penelitian sebagai solusi dari permasalahan pembangunan kualitas SDM Indonesia. Seminar nasional ini Diselenggarakan oleh Takmir Masjid Baitul Makmur Unesa di Lantai 11 Rektorat, Kampus Unesa Lidah Wetan, Surabaya.
Seminar ini dibuka dengan lantunan ayat suci Al-Quran yang dibacakan oleh perwakilan mahasiswa FMIPA. Serta menghadirkan tiga pembicara yaitu, KH. Moh Ali Hanafiah Akbar, Dr. KH., Luqman Hakim M.A., Ph.D., Drs. KH. Ng. Agus Sunyoto, M.Pd., dan Uztad Agung Ari sebagai moderator acara.
Rektor Unesa, Prof. Dr. Warsono, M.S., dalam sambutannya mengatakan bahwa radikalisme benihnya sudah ada sejak tahun 1980an. Dengan tembok yang kuat dalam diri manusia menjadi senjata masuknya radikalisme. Untuk itu Rasulullah dapat menjadi panutan semua umat islam dalam menguatkan nilai keislaman dalam diri manusia.
Pembicara pertama, Agus Sunyoto, M.Pd. mengatakan bahwa masyarakat itu punya hak milik, tidak boleh diganggu gugat. Pemikiran manusia ada 3 tahap, yakni yang pertama pikiran manusia primitive, manusia mampu mencipta, tp masih percaya pasa takdir, ramalan (metafisika), dan manusia modern (manusia yang hanya percaya pada fakta) tidak mempercayai hal-hal ghaib. Pemikiran inilah yg dikembangkan melalui schooling system yang disebar ke seluruh negeri.
Selanjutnya pembicara ke dua yaitu, Luqman Hakim M.A. menutarakan bahwa tantangan umat islam melalui tasawuf. Seorang sufi adalah merasa rendah hati, ibadah, selalu melihat dirinya seperti apa. Dunia sufi melakukan transformasi. Manusia harus melakukan kebajikan di dunia maupun di akhirat.
“Kehilangan konsep ilmu yg bermanfaat, pendidikan dipuaskan oleh nilai kemanusiaan tapi tidak dipuaskan nilai ketuhanan, sedangakan pesantren dipuaskan nilai ketuhanan tapi tidak kemanusiaan” tambah Luqman. (tika/intan/why)