10 May 2022


Unesa.ac.id, SURABAYA-Budaya merupakan jati diri bangsa yang harus diwarisi dari generasi ke generasi, tentu dengan berbagai pendekatan, strategi dan didukung dengan riset-riset yang kuat. Karena itulah, dosen Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Dr. Setyo Yanuartuti, M.Si., melakukan riset panjang dan terlibat mengembangkan Topeng Jatiduwur, Seni Pertunjukan Topeng asal Kabupaten Jombang.
Riset-risetnya menjadi referensi penting bagi penelitian topeng Jatiduwur, bahkan menjadi bahan pengajuan Wayang Topeng Jatiduwur sebagai warisan budaya tak benda Indonesia. Atas peran pentingnya dalam mewariskan kesenian topeng yang sudah berumur ratusan tahun itu, perempuan asal Ponorogo tersebut menerima anugerah kebudayaan Jombang pada Maret 2022 lalu.
Sedikit flashback, Setyo Yanuartuti sejak kecil sudah akrab dan menyukai kesenian. Latar belakang keluarga kental dengan kesenian, pertunjukan. Bak pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya, darah seninya mengalir kuat dari keluarga. Ayahnya, selain berprofesi sebagai guru sekolah dasar juga pegiat kebudayaan; sebagai ketua kelompok karawitan juga sebagai pemain barong (pembarong) dalam pertunjukan Reog. Sedangkan Ibunya berprofesi sebagai pengrawit.
Ketertarikannya pada seni semakin kuat hingga membuatnya berlabuh di SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) dan kemudian menempuh pendidikan tinggi di IKIP Surabaya (UNESA, sekarang). Saat itu, dia mengusung ‘Seni Pertunjukan Tradisional Topeng Sandur Mandura di Desa Manduro Kecamatan Kabuh, Jompang’ sebagai judul penelitian skripsinya. Sejak itulah ia menyukai penelitian tentang topeng sandur Jombang.
“Pada 1996 saya berkenalan dengan seniman Jombang dan diajak ke Jatiduwur dikenalkan bentuk-bentuk topeng Jatiduwur yang sangat berbeda dengan topeng daerah lain baik Jawa Timur, Jawa Tengah, Jogjakarta, hingga Sunda. Beberapa kali saya juga pernah menonton pertunjukan topeng tersebut dan saya merasa bahwa kesenian topeng ini mempunyai kekhasan yang kuat sebagai seni topeng Jombangan,” paparnya.
Menurutnya, semakin ke sini, eksistensi seni pertunjukan topeng semakin berkurang dan minat generasi pun berangsur menurun. Itu yang membuatnya semakin terpanggil untuk terus melestarikan dan mewariskan kesenian topeng tersebut. Pada 2011, Dewan Kesenian Jombang melakukan sebuah terobosan pelestarian kesenian topeng dengan mereplika topeng Jatiduwur ini disertai dengan pertunjukannya. Setyo Yanuartuti juga terlibat di dalamnya.
Pada saat studi S-3 di Institut Seni Indonesia Surakarta pada 2012-2015, dia mengangkat revitalisasi topeng Jatiduwur sebagai penelitian doktornya, disertasi. Judulnya, “Revitalisasi Wayang Topeng Jatiduwur: Lakon Patah Kuda Narawangsa” yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku ‘Wayang Topeng Jatiduwur’.
“Sejak S-1 hingga doktor bahkan saat ini saya terus melanjutkan riset kesenian termasuk topeng Jatiduwur. Dukungan dosen Sendratasik berupa karya seni tari hingga lakon wayang juga membantu Wayang Topeng Jatiduwur dikenal masyarakat luas di luar Jombang. Karya seni tari telah dipentaskan dalam berbagai pertunjukan baik nasional maupun internasional,” paparnya.
Dia melanjutkan, penelitian disertasinya itu menjadi rujukan penting artikel-artikel ilmiah dan karya seni tari topeng belakangan dan bahkan digunakan Pemkab Jombang untuk mengajukan kesenian topeng Jatiduwur menjadi warisan dunia tak benda. Tahun 2018, kesenian ini berhasil disetujui dan ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia tak benda Indonesia.
Karena upayanya dalam melestarikan budaya bangsa dan riset-risetnya yang kuat tentang kesenian topeng Jatiduwur membuatnya mendapat penghargaan kebudayaan Jombang pada Maret 2022 lalu. “Penghargaan ini tentu sebagai motivasi dalam mewariskan dan melestarikan budaya bangsa kita ke depan. Pelestarian budaya ini harus terus dilakukan, tentu tidak bisa sendiri, kita semua dan seluruh stakeholder harus ambil bagian, bagaimana kita sisipkan nilai-nilai budaya di era digital ini,” ungkapnya.
Menurutnya, masa depan kebudayaan Indonesia, termasuk kesenian topeng Jatiduwur ada di tangan anak-anak muda sekarang. Karena itu, berbagai kesenian daerah harus diperkenalkan kepada masing-masing generasinya, tentu dengan pendekatan dan strategi yang sesuai dengan masanya.
Upaya pelestarian, lanjutnya, harus disertai dengan upaya pengembangan. Itulah yang dia lakukan untuk kesenian topeng Jatiduwur tersebut. “Kesenian kita maju, bukan hanya seniman yang mendapat manfaat, tetapi juga pemerintah daerah dan masyarakat luas, karena kesenian ini berpotensi menjadi aset wisata, edukasi dan ekonomi. Kalau bukan kita yang mewariskan, melestarikan dan mengembangkan budaya bangsa kita, lantas siapa lagi,” tandasnya. [Humas UNESA]
Penulis: Azhar
Editor: @zam*
foto : Dok. Pribadi