16 October 2021


Unesa.ac.id, SURABAYA-Nama besar, kepribadian dan karya-karya Budi Darma tak lekang waktu. Setiap ucapan dan tindakannya menjadi kesan yang tak terlupakan baik bagi keluarga, kerabat, sahabat, rekan kerjanya maupun bagi yang mengenalnya secara tidak langsung. Kesan dan kenangan itulah yang dikumpulkan menjadi sebuah buku “Panggil Saya Budi Darma” oleh Ikatan Pensiunan UNESA.
Buku tersebut diluncurkan pada Sabtu, 16 Oktober 2021 di Kantor Ikatan Pensiunan UNESA Kampus Ketintang. Alimufi Arief, Ketua Ikatan Pensiunan UNESA (IPUNESA) menyatakan bahwa buku tersebut lahir dari keinginan keluarga besar IPUNESA untuk mengabadikan kesan dan kenangan selama mengenal Budi Darma. “Begitu saya bagikan rencana buku ini di group, tidak sampai seminggu naskah terkumpul semua,” ceritanya.
Baginya, itu tentu bukan saja karena nama besar Budi Darma dalam dunia kesusastraan, tetapi juga karena kepribadiannya yang tidak ada duanya. Sebagai sastrawan besar yang dikenal dalam dan luar negeri, lanjutnya, orang bisa mengenal Budi Darma lewat karya-karyanya. Namun, sebagai pribadi yang rendah hati dan peduli serta selalu memotivasi orang lain itulah yang dicurahkan dan ingin dibagi kepada semua lewat buku tersebut. Menurutnya, Budi Darma adalah sosok inspiratif, pendiriannya kuat, rendah hati, lembut dan ramah kepada semua. “Kalau saya panggil Prof, beliau selalu bilang, panggil saya Pak Budi saja,” kenangnya.
Hananto Widodo, putra Budi Darma yang juga hadir dalam acara tersebut menyampaikan bahwa Guru Besar (emeritus) UNESA itu memang memiliki sikap yang unik; sebagai sastrawan ia begitu liar dan ganas. Sementara dalam kehidupannya sehari-hari dikenal santun dan halus. “Bapak itu paling gak suka dengan orang yang angkuh dan sombong, baru dapat predikat ini dan itu aja sudah merasa sok jago dan lebih paham dari yang lain,” ucapnya.
Selain tidak ingin dipanggil profesor, lanjutnya, Budi Darma juga tidak menggunakan gelar Raden pada namanya. Raden hanya melekat pada nama Budi Darma sampai jenjang sekolah menengah pertama (SMP) saja. Setelah itu, gelar Raden sudah tidak digunakan lagi. “Yang seperti ini semacam jadi kekuatan dan warna tersendiri dalam keluarga besar kami. Prinsipnya bagaimana hidup ini disikapi dengan bijak dan sederhana,” terangnya.
Banyak sekali kesan, pesan dan kenangan tak terlupakan dari Budi Darma, itu semua menjadi warna tersendiri setiap halaman buku yang ditulis sekitar 40an penulis baik dari IPUNESA maupun dari para mantan Rektor UNESA seperti, Drs. Soerono Martorahardjo, Prof. Toho Cholik Mutohir, Ph.D., Prof. Dr. Haris Supratno, Prof. Dr. Muchlas Samani hingga Prof. Dr. Warsono, M.S. Rektor UNESA Prof. Dr. Nurhasan., M.Kes., memberikan kata sambutan buku tersebut.
Prof. Dr. Nurhasan., M.Kes menyatakan bahwa karya-karya kesusastraan Budi Darma sudah dibahas dalam simposium nasional yang digelar Fakultas Bahasa dan Seni UNESA beberapa waktu lalu. Hasil dari pembahasan yang melibatkan belasan sastrawan dan penulis tanah air itu kemudian dijadikan sebagai buku tentang teori sastra Budi Darma.
Tahun depan ini, lanjutnya, UNESA akan menindaklanjuti teori sastra Budi Darma dalam bentuk konferensi internasional dengan melibatkan pakar dan sastrawan dari berbagai negara. “Kita rencanakan bersama dan semoga nanti bisa berjalan lancar dan teori sastra khas Pak Budi tidak hanya mewarna kesusastraan Indonesia, tetapi juga dunia,” ucapnya.
Alimufi berharap, buku “Panggil Saya Budi Darma” tersebut bisa mengisi ceruk wawasan anak negeri tentang sosok sastrawan besar Indonesia yang dikenal dunia. Selain itu, juga dapat menginspirasi banyak orang dan anak-anak muda bangsa Indonesia.
“Pribadi yang langka dan menawan seperti ini perlu kita kenang dan abadikan lewat karya, sehingga nilai dan prinsip hidupnya terwariskan dari generasi ke generasi,” tuturnya. Acara tersebut dihadiri jajaran IPUNESA, keluarga besar UNESA, dan para keluarga Budi Darma. [Humas UNESA]