15 September 2021


Unesa.ac.id, SURABAYA-Kepergian almarhum Budi Darma meninggalkan banyak kesan mendalam, baik bagi keluarga besar UNESA maupun bagi dunia sastra Indonesia. Guna mengenang sosok Guru Besar Emeritus itu, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNESA menyelenggarakan Simposium Nasional: Menuju Teori Sastra ‘Dunia Jungkir Balik’ Budi Darma pada Selasa, 14 September 2021.
Target Simposium Jadi Buku
Dekan FBS UNESA, Dr. Trisakti, M.Si., mengatakan bahwa tujuan simposium tersebut adalah untuk mengonstruksi teori sastra Budi Darma. Hasil tinjauan dan pembahasan 16 pakar baik dari praktisi maupun akademisi dalam acara tersebut diharapkan bisa dirumuskan menjadi satu buku yang akan diterbitkan oleh FBS.
Buku tersebut menyusul buku-buku tentang Budi Darma lainya seperti “Tantangan Murid Cultural Budi Darma” yang akan diluncurkan pada acara 40 hari Budi Darma. Juga, buku “Budi Darma, Sosok dan Karyanya” yang akan diluncurkan pada 100 hari wafatnya almarhum. “Narasumber dipilih atas kepakaran, ketokohan, dan memiliki kedekatan dengan alam pikiran Budi Darma. Peserta yang hadir lebih 1.000 peserta dari berbagai daerah Indonesia bahkan ada yang dari Malaysia,” ujarnya.
Dari Simposium ke Konferensi Internasional
Acara tersebut, rencananya akan ditindaklanjuti dalam bentuk konferensi internasional. Itu diungkapkan oleh Rektor UNESA Prof. Nurhasan, M.Kes dalam sambutannya. “Mohon dukungan para narasumber, tahun depan akan kita selenggarakan, dan tahun ini mulai digagas serta diinformasikan agar pelaksanaannya nanti bisa lancar dan sukses,” ucapnya. “Saya percaya, kekayaan wawasan dari berbagai pihak dalam simposium ini dapat memperkaya cakrawala teori sastra Indonesia dan mengilhami sastra para generasi bangsa,” harapnya.
Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum, penulis dan ilmuwan sastra Indonesia pada kesempatan itu membuka penyampaiannya dengan pertanyaan kunci, teori sastra Budi Darma itu kaya apa sih? Dengan merujuk pada esai-esai Budi Darma dalam Solilokui (1983), Orang-Orang Bloomington, dan Sejumlah Esai Sastra (1984), bahwa Budi Darma dalam beberapa ‘tempat’ memang jungkir balik, tetapi memiliki pandangan yang tegas tentang manusia. “Konsep saya mengenai manusia sudah jelas; manusia selalu dalam proses mencari identitas dirinya dan terjatuh-jatuh karena kesulitannya berhubungan dengan sesamanya,” ujarnya mengutip potongan tulisan Budi Darma.
Penghayat Kehidupan dan ‘Pengajar Teknik Jujur’
Seno Gumira merumuskan strategi kepengarangan ala Budi Darma; (1) kesehariannya sebagai penghayat kehidupan, untuk selalu mengamati manusia, (2) pemeluk teguh konsepnya atas manusia untuk menjadi tema siap pakai, (3) memeras keberdayaan menulis saat detik kemungkinannya tiba. Akhir penyampaiannya, Seno Gumira menunjukkan ‘Orang-Orang Bloomington’ edisi pertama. “Ini (Orang-Orang Bloomington, red) benar-benar menginspirasi sekali, karena di sini saya menemukan teknik yang dipake seperti Kuntowijoyo, tentang tokoh saya yang jujur terhadap kejahatannya sendiri,” ujarnya. “Teknik jujur inilah yang saya sebut sebagai identifikasi dengan subjek dalam sastra,” pungkas pria kelahiran Boston itu.
Kemudian, Okky Puspa Madasari menyoroti teori sastra Budi Darma dalam tema ‘Sastra sebagai Medan Intelektualitas’. “Kemampuan intelektual merupakan salah satu syarat yang penting untuk menjadi penulis yang baik,” katanya mengutip penggalan kalimat Budi Darma (1981-1982). Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa (2012) itu menyandingkan Budi Darma dengan Pramoedya Ananta Toer dan Syed Hussein Alatas.
Kandidat Ph.D National Universty of Singapore itu menuturkan bahwa Budi Darma memandang bahwa intelektual tidak identik dengan pendidikan formal yang tinggi, melainkan dengan sikap yang selalu ingin belajar dan jalan pikiran yang menunjukkan kemampuan berpikir yang baik. Sementara Syed Hussein Alatas memandang bahwa pengetahuan terhadap suatu hal tidak otomatis membuat seseorang intelektual. Bisa jadi seseorang itu ahli mesin atau ahli membangun jembatan atau ahli menulis tetapi tidak otomatis membuat orang itu jadi intelektual. Pramoedya memiliki pandangan clear lagi. “Bisa sampai di situ saja faal (perbuatan), kaum intelektual artinya penalarannya belum sampai pada suatu tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya, terutama pada umat manusia,” ucapnya mengutip kalimat Pramoedya.
Intelektual dan Kemampuan Abstraksi adalah Kunci
Pak Budi melihat, lanjut Okky Madasari, intelektualitas pengarang menentukan kualitas karya. Karya yang buruk disebabkan rendahnya kemampuan abstraksi. Karya tidak bisa mengandalkan bakat alam, itu tidak cukup. Penyebab buruknya karya juga karena penulis tidak berjarak dengan tulisannya sendiri, sehingga hasilnya tak lebih dari otobiografi pengarang. “Ini menjadi kritik yang sangat berharga dari Pak Budi dan relavan hingga sekarang,” tuturnya.
Sementara itu, Tommy F. Awuy, Dosen Filsafat Seni IKJ mengatakan bahwa sastra pada dasarnya adalah media kesadaran tekstual yang bergantung pada abjad, kata, kalimat, paragraph, dengan problematika rangkaiannya. Film adalah media kesadaran perseptual dikonstruksi oleh rangkaian visual dan serangkaian gambar bergerak.
Imajinasi Visual yang Tinggi dan Piawai Garap Narasi yang Cair
Kekuatan kesadaran konseptual dan perseptual yang menonjol pada karya sastra Budi Darma ada pada aspek atau daya rangsangan imajinasi visualnya baik dari sisi deskripsi tempat, interaksi para tokoh, bangunan karakter tokoh, bangunan dramaturgi, dan modus garapan narasi termasuk temanya. “Unsur itu terbilang begitu cair digarap Budi Darma dan menjadi kekuatan dari sastranya,” ujarnya. Kepiawaian merancang persepsi visual itu bisa dilihat dalam “Orang-Orang Bloomington” dan “Laki-laki Tua Tanpa Nama”. “Deskripsi imajinatif tempat secara sadar dan tak sadar menggiring pembaca membayangkan kondisi kota Bloomington dengan karakter para penduduknya,” kata dosen Filsafat di Fakultas Ilmu Budaya, UI itu.
Menginspirasi Anak Negeri dan Sastrawan Tanah Air
Much Khoiri, Penulis dan Dosen FBS UNESA mengatakan bahwa Budi Darma memiliki banyak pandangan yang menarik dan menggelitik dalam sastranya. Almarhum memiliki kedalaman penghayatan terhadap hidup dan manusia. “Jasa beliau sangat-sangat besar dalam menginspirasi anak bangsa, terutama pada sastrawan di negeri ini,” ujarnya.
Adapun pakar dan sastrawan lain yang hadir pada simposium itu yakni Djuli Djatiprambudi, Prof I Wayan Kun Adnyana, Faruk HT, Akmal N. Basral, Wahyudi Siswanto, Suyatno, Eka Budiantara, Ki S Hendrowinoto, Hafiz Rancajale, M. Shoim Anwar, Triyanto Triwikromo, dan Tengsoe Tjahjono. Akhirnya, gugur satu tumbuh seribu. Semoga jasa dan karya Budi Darma menjadi inspirasi anak negeri. (Madina)